Sunday, December 9, 2012

Legalitas pembuktian Forensik Digital dalam sistem pembuktian hukum acara pidana.



Pendahuluan

Dalam perspektif perkembangan kejahatan yang terkait dengan jaringan komputer ke depan semakin meningkat. Baik secara kuantitas (jumlah) maupun secara kualitas (tingkat kesulitan modus kejahatan). Tentunya hal ini harus diimbangi dengan bagaimana penyelesaian suatu kasus tindak pidana yang terkait dengan jaringan komputer dalam ruang criminal justice sistem  secara baik dan benar. Dengan harapan masyarakat sebagai Subjek  dan sekaligus menjadi Objek Hukum dapat lebih merasakan keadilan dan kepastian hukum. Terkait dengan masalah tersebut penulis mencoba untuk menganalisa tentang  Legalitas pembuktian Forensik Digital dalam sistem pembuktian hukum acara pidana.


Forensik Digital

Pengertian Forensik digital secara sederhana adalah Keseluruhan proses dalam mengambil, memulihkan, menyimpan, memeriksa informasi atau Dokumen elektronik yang terdapat dalam sistem Elektronik atau media penyimpanan, bedasarkan cara dan dengan alat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kepentingan pembuktian.

Dalam investigasi Forensik Digital kemungkinan-kemungkinan yang akan diperoleh, yaitu : Data yang telah terhapus;  Informasi mengenai waktu modifikasi penciptaan, penghapusan files; Dapat menentukan perangkat penyimpan mana saja yang terkoneksi dengan sebuah komputer; Aplikasi apa saja yang diinstall, meskipun aplikasi tersebut telah di uninstall oleh pengguna;  Website mana yang telah dikunjungi.

Sedangkan proses dalam digital forensik secara umum terdiri dari kegiatan – kegiatan: Indentifikasi atau administrasi penerimaan adalah pencatatan terhadap bukti-bukti yang akan diteliti seperti merek, model, serial; Akuisisi adalah kegiatan memisahkan harddisk untuk dilakukan imaging; Analisis adalah kegiatan menganalisa dengan cara menghubungkankan keterkaitan jenis kejahatandengan bukti bukti; Pelaporan adalah keseluruhan hasil kegiatan dalam bentuk tertulis.

Informasi Elektronik (IE) dan Data Elektronik (DE) yang tersimpan dalam CPU (Central Processing Unit) tepatnya pada harddisk merupakan bukti yang sangat penting yang dapat membuka tabir suatu perkara kejahatan, namun IE dan DE tersebut tidak mempunyai arti apa-apa bila tidak dimengerti “isi dalamnya”.  Untuk mengetahui “ada apa” dalam harddisk tersebut  dilakukan uji digital forensik. Tentunya dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah pengamanan IE dan DE sehingga masih tetap utuh sebagaimana aslinya serta perangkat uji digital forensik, termasuk SDM pengujinya harus  benar-benar sudah diakui legalitasnya didunia internasional.


Sistem  Pembuktian

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Ada beberapa teori  terkait dengan sistem pembuktian, yaitu : -Conviction in Time, yaitu menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan hakim; -Conviction Raisonce, yaitu keyakinan hakim dengan disertaI dengan alasan-alasan yang jelas; -Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, yaitu menentukan salah atau tidaknya terdakwa tergantung alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang; -Pembuktian menurut Undang-Undnag secara Negatif. yaitu terletak diantara dua sistem yaitu pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Sehingga untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa adalah berdasarkan keyakinan hakim yang didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.


Teori Pembuktian menurut Undang-Undang  secara Negatif inilah yang kelihatannya dianut oleh Hukum Acara Pidana di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 183 KUHAP “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang “dua alat bukti yang sah” mari kita lihat bunyi pasal 184 ayat 1 KUHAP : 
Alat bukti yang sah ialah:
a.keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.

Apakah pembuktian forensik digital  memenuhi unsur sistem   Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif sebagaimana yang dianut oleh KUHAP ?

Tentunya dalam hal ini pertama-tama hakim harus mempunyai keyakinan “kebenaran sejati” atas pembuktian forensik digital baik yang menyangkut “prosesnya” maupun “hasilnya”.  Kedua adalah pembuktian forensik digital harus memenuhi unsur pasal  184 ayat (1) KUHAP.

Apakah pembuktian forensik digital ini merupakan perluasan dari definisi alat bukti yang sah dari “surat” atau “petunjuk” ?



Surat sebagai alat bukti, diatur dalam pasal 187 KUHAP, berbunyi : "Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:":
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang  dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang  dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat  mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan  bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; 
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Alat bukti petunjuk dijelaskan dalam pasal 188 ayat (1) KUHAP, berbunyi :  “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Kesimpulan :

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis berkesimpulan bahwa KUHAP terlahir sebelum perkembangan kemajuan Teknologi Informasi yang begitu pesat.  Hasil forensik digital merupakan perluasan dari isi pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf c,  merupakan alat bukti sah dalam klasifikasi “surat” bila perolehannya sesuai Standar Operasi yang benar.

Daftar  Pustaka;
KUHAP;
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; M.Yahya Harahap,SH;
Digital Forensic, M.Nuh Al Azhar;
Hukum Siber, Josua Sitompul, SH, MH